KERAJAAN YANG RAPUH

Jumat, April 29, 2011

Dari polip karang yang mungil, tumbuh sesuatu yang menakjubkan: Great Barrier Reef Australia. Mungkinkah semuanya akan binasa?

Oleh JENNIFER S. HOLLAND
Foto oleh DAVID DOUBILET
Tidak jauh di bawah permukaan Laut Koral, tempat menetapnya Karang Penghalang Besar, gigi ikan kakatua (Scaridae) menggerus karang, cakar kepiting menyentak saat mereka berebut tempat persembunyian, dan ikan grouper (Epinephelus) seberat 275 kilogram menggetarkan kantung renangnya untuk mengumumkan kehadirannya dengan gebrakan yang mantap. Ikan hiu dan silver jacks (Carangidae) berkelebat-kelebat. Cabang anemon bergeletar dan ikan serta udang kecil-kecil seakan menari-nari riang sambil menjaga ceruknya. Benda apa pun yang tidak bisa menempelkan diri pada benda kaku pasti terseret dan terlontar oleh alunan gelombang laut.

Keragaman karang yang amat kaya itulah yang antara lain membuatnya memukau. Terumbu karang itu dihuni oleh 5.000 jenis moluska, 1.800 spesies ikan, 125 jenis hiu, dan berbagai makhluk mini yang tak terhitung banyaknya. Namun, pemandangan yang paling memesona—dan alasan utama terumbu karang ini meraih status Pusaka Dunia—adalah luas bentangannya, mulai dari tangkai bunga karang dan lempengan karang yang rata oleh ombak (Heliofungia actiniformis), hingga bebatuan mirip sarung tangan oven yang digelantungi karang cokelat mirip tombol sehalus sadel dari kulit. Karang lunak bertengger di atas karang keras, ganggang dan spons mewarnai bebatuan, dan setiap celah menjadi hunian makhluk hidup. Makhluk hidupnya, seperti karang ini, bertransformasi dari utara—tempat dimulainya terumbu—hingga ke selatan. Pergerakan kelompok makhluk hidup yang sangat beragam ini tidak ada tandingannya di dunia.

Waktu dan gelombang laut dan sebuah planet yang selalu berubah menciptakan Karang Penghalang Besar jutaan tahun yang silam, menggerogotinya, dan menumbuhkannya kembali—terus-menerus. Sekarang semua faktor penunjang pertumbuhannya mengalami perubahan dengan kecepatan yang belum pernah dialami Bumi. Kali ini terumbu karang tersebut mungkin mengalami kerusakan melebihi ambang batas genting yang menyebabkannya tidak dapat pulih kembali.

Tak Kenal Maka Tak Sayang Bangsa Eropa diperkenalkan kepada Karang Penghalang Besar oleh penjelajah Inggris, Kapten James Cook, yang menemukannya secara kebetulan. Pada suatu senja di bulan Juni 1770, Cook mendengar suara gesekan kayu dengan batu; dia tidak pernah membayangkan bahwa kapalnya membentur dunia makhluk hidup paling luas di Bumi: lebih dari 26.000 kilometer persegi bentangan terumbu karang dan pulau kecil-kecil yang menebal dan menipis dan berlika-liku sepanjang kira-kira 2.300 kilometer.

READ MORE - KERAJAAN YANG RAPUH

BLUE CARBON UNTUK WARGA PESISIR

Rabu, April 27, 2011

Wartawan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) menyusuri hutan mangrove di Pulau Nusa Lembongan, Bali, 10 April 2011

Wayan Sukitra melepaskan tali yang mengikat setiap perahu dengan tambatannya. Ada delapan perahu yang dinaiki anggota The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), yang menyusuri hutan mangrove seluas 9 kilometer persegi di Pulau Nusa Lembongan, Bali.

Setelah berkeliling dengan perahu yang harga sewanya Rp 70 ribu per unit, peserta diajak mengunjungi kafe dan toko cendera mata. "Ini usaha dari kelompok masyarakat Mangrove Tour," kata Sukitra, yang menjadi ketua kelompok itu, kepada wartawan yang mengunjunginya pada 10 April lalu. Pada Juli hingga September, ujarnya, banyak turis asing berwisata ke hutan mangrove di Desa Jungut Batu, Nusa Lembongan.

Hutan ini menjadi tempat wisata semenjak 2003. Sebelumnya, kata Sukitra, warga menebangi mangrove untuk kayu bakar dan lahan industri garam. Alhasil di beberapa tempat terjadi abrasi. Kemudian seorang turis asal Prancis mengajak Sukitra mengembangkan wisata mangrove.

Warga lantas menanam bakau pada lahan kosong dan membentuk Mangrove Tour. Sekarang kelompok ini memiliki 33 perahu dan masyarakat menggunakan kompor gas untuk memasak. Mereka juga menyajikan hidangan laut, seperti kepiting bakau, untuk wisatawan serta aktivitas menyelam.

Menurut Daniel Murdiyarso, peneliti Center for International Forestry Research (Cifor), apa yang dilakukan warga Jungut Batu merupakan bagian dari adaptasi perubahan iklim. "Hutan bakau memiliki peran yang besar dan selama ini belum dieksplorasi," katanya kepada wartawan peserta workshop yang diadakan Cifor dan SIEJ di Bali pada 8-11 April 2011.

Ternyata, bukan hanya adaptasi, tapi hutan bakau juga memiliki peran dalam mitigasi perubahan iklim. Tanaman ini memberi sumbangan sangat potensial untuk mengurangi emisi karbon dibanding hutan hujan tropis. "Kepadatan karbon hutan mangrove lebih tinggi empat kali daripada hutan tropis umumnya," demikian kesimpulan penelitian yang dilakukan Cifor dan USDA Forest Services (Departemen Pertanian Amerika Serikat Bidang Kehutanan).

Hasil penelitian itu dipublikasikan dalam Nature GeoScience edisi 3 April 2011. Riset ini dilakukan oleh Daniel C. Donato, J. Boone Kauffman, Daniel Murdiyarso, Sofyan Kurnianto, Melanie Stidham, dan Markku Kanninen. Sampel penelitian mereka diambil dari hutan mangrove di Kepulauan Mikronesia (Kosrae, Yap, dan Palau), Indonesia (Sulawesi, Jawa, serta Kalimantan), dan Sundarbans (Delta Sungai Gangga-Brahmaputra serta Bangladesh).

Menurut Daniel, ini merupakan studi yang pertama kali mengintegrasikan pentingnya mengukur total cadangan karbon berdasarkan geografi atau luas wilayah hutan mangrove. Tim peneliti memperkirakan tingkat pembusukan dan penguraian di hutan mangrove lebih cepat daripada hutan di daratan.

Sebagian besar karbon disimpan di bawah hutan mangrove daripada di atas permukaan tanah dan air. Jumlah karbon yang tersimpan di atas tanah sebanyak 100-120 ton per hektare. Sementara yang di bawah tanah bisa 1.200-1.300 ton setiap hektare. "Itu untuk semua jenis mangrove," kata Daniel.

Stephen Crooks, Direktur Perubahan Iklim Biro Konsultasi Perlindungan, Peningkatan, dan Perbaikan Ekosistem yang Bergantung pada Air (ESA-PWA), menjelaskan, hutan mangrove, rawa pasang-surut, dan padang lamun menghilangkan karbon dari atmosfer serta menguncinya di dalam tanah selama ratusan hingga ribuan tahun.

Tidak seperti hutan daratan umumnya, ekosistem laut secara terus-menerus membangun kantong-kantong karbon. "Juga menyimpan blue carbon dalam jumlah besar ke sedimen dasar laut," kata Crooks, yang hadir di Bali sebagai pembicara dalam lokakarya Tropical Wetland Ecosystems of Indonesia: Science Needs to Address Climate Change Adaptation dan Mitigation.

Cecep Kusmana, ahli mangrove dari Institut Pertanian Bogor, juga menjadi pembicara dalam forum tersebut. Pada 2008 hingga 2010, dia melakukan penelitian mangrove jenis api-api di Muara Angke, Jakarta Utara. "Mangrove usia 2 tahun berhasil menyerap 230 gram karbon dioksida per 100 gram daun," katanya. Sedangkan satu pohon mangrove tersebut berat total daunnya sampai 1,5 kilogram.

Daniel Murdiyarso dan teman-temannya juga menghitung bahwa perusakan dan degradasi ekosistem mangrove diperkirakan menghasilkan hingga 10 persen dari emisi deforestasi global. Sebab, yang hilang bukan hanya karbon di atas permukaan mangrove, tapi juga di bagian bawahnya.

Di Indonesia, saat ini ada 3,1 juta hektare mangrove atau 22,6 persen di dunia. Hutan ini terancam rusak jika tidak ada upaya melindunginya. Di Kalimantan saja, laju kerusakannya mencapai 7 persen dalam lima tahun terakhir.

Perusakan disebabkan oleh penggunaan lahan untuk budi daya perikanan, infrastruktur, dan aktivitas pembangunan lainnya. Ancaman terhadap mangrove bertambah akibat naiknya permukaan air laut, yang diperkirakan mencapai 18-79 sentimeter pada abad ini. Di Jawa, dampak perusakan mangrove telah dirasakan, yaitu abrasi tinggi dan kesulitan mencari ikan.

Daniel berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melindungi hutan mangrove. Apalagi penelitian Cifor dan USDA menunjukkan bahwa mangrove memberi sumbangan sangat potensial untuk mengurangi emisi karbon dibanding hutan hujan tropis. "Saat ini belum ada insentif bagi perlindungan hutan mangrove," kata Crooks.

Menurut Crooks, upaya tersebut memiliki potensi untuk dikaitkan dengan skema REDD+ (Reduction Emission from Degradation and Deforestation plus) dan mekanisme pendanaan karbon lainnya. Tanpa menunggu kucuran dana dari luar negeri, kelompok masyarakat Mangrove Tour di Pulau Nusa Lembongan, Bali, sudah menunjukkan kepada dunia bahwa, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tidak harus merusak lingkungan.

READ MORE - BLUE CARBON UNTUK WARGA PESISIR

BUDI DAYA KERAPU BISA RUSAK TERUMBU

Senin, April 25, 2011

Budidaya kerapu merupakan salah satu upaya untuk mencegah pengambilan ikan karang tersebut secara langsung di alam. Namun, budidaya yang tidak efisien juga tetap bisa merusak ekosistem terumbu karang.

Demikian dikatakan Direktur Eksekutif LSM Mitra Bentala Herza Yulianto dalam acara Media Trip bersama WWF pada hari Senin (18/4/2011) di Lampung. Ia mengatakan, kerapu biasanya dibudidayakan di keramba apung di laut lepas yang kadang berada di wilayah yang terumbu karangnya masih bagus. Dengan demikian, kondisi lingkungan keramba secara langsung berpengaruh terhadap ekosistem terumbu karang.

Herza mengungkapkan, potensi kerusakan berasal dari material sisa budidaya. "Untuk kerapu, dampak limbahnya bisa lebih kritis karena langsung kontak dengan lingkungannya," ungkap Herza.

Akumulasi sisa pakan, misalnya, bisa mengendap di dasar laut dan terumbu karang. Sisa pakan bisa berubah menjadi zat racun dan mengakibatkan pemutihan terumbu karang. Di Lampung, akumulasi sudah terjadi di wilayah Tanjung Putus.

Menurut Herza, kerusakan masif terumbu karang memang belum terjadi saat ini, tetapi perlu diantisipasi. Ia menekankan penggunaan pakan yang efisien dan pemantauan dasar perairan untuk mendeteksi adanya akumulasi limbah.

Herza bersama timnya juga pernah mengembangkan rumpon untuk mengatasi masalah tersebut. "Harapannya nanti sisa pakan bisa dimakan oleh ikan-ikan yang terkumpul di situ, tidak langsung ke dasar," urainya.

Zonasi dan perizinan

Sementara itu, Koordinator Program Akuakultur WWF Indonesia, Cut Desiana, mengatakan, untuk mengantisipasi dampak lingkungan akibat budidaya, perlu diupayakan peraturan tentang zonasi dan perizinan.

"Soal lingkungan misalnya, zonasi budidaya juga harus melihat wilayah-wilayah tertentu yang dilindungi, misalnya karena adanya terumbu karang, padang lamun, atau lokasi pemijahan ikan," jelasnya.

Menurut dia, peraturan zonasi yang dikeluarkan pemerintah saat ini belum cukup rigid. "Tata ruang pesisir ini banyak yang belum selesai. Pemerintah daerah belum aktif melakukan pendataan," ungkapnya.

Tentang perizinan, Desiana mengatakan, "Izin usaha harus di-screening bahwa lokasinya memang tepat, tidak ada potensi konflik, dilihat potensi wilayah dan kepadatannya seberapa besar."

Desi mengungkapkan bahwa studi tentang perizinan itu harus melihat daya dukung lingkungan. "Ini muaranya adalah adanya pembatasan nantinya, sesuai dengan daya dukung lingkungannya," katanya.

Menurut Desi, pemerintah harus mengadopsi standar yang kredibel dalam mengupayakan lingkungan budidaya yang baik. Selain itu, ia juga menggarisbawahi perlunya melihat akses masyarakat lokal sebab pantai merupakan fasilitas publik.

Desi mendefinisikan budidaya yang ideal dan berkelanjutan sebagai budidaya yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial.

Sumber : Kompas Indonesia

READ MORE - BUDI DAYA KERAPU BISA RUSAK TERUMBU

TRANSPLANTASI KARANG DI TELUK LAMPUNG

Selasa, April 19, 2011


Sejumlah mahasiswa dan pelajar melakukan transplantasi koral di Pantai Ringgung, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, Senin (18/4). Habitat terumbu karang di Teluk Lampung masih saja terancam kegiatan eksploitatif oleh manusia, antara lain ditambang untuk pondasi rumah dan resort.

Dalam rangka Pekan Konservasi Sumber Daya Alam ke-XV, Himpunan Mahasiswa Biologi Universitas Lampung melakukan transplantasi koral, Senin (18/4/2011) di Pantai Ringgung, Teluk Lampung.

Kegiatan ini diikuti puluhan mahasiswa dan pelajar asal Bandar Lampung. Acara ini juga diikuti pencinta kegiatan menyelam dan snorkeling dari Lampung, Bandung, dan Palembang. Acara dipusatkan di wilayah Pantai Ringgung, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Transplantasi koral dilakukan dengan menenggelamkan tiga rak besi berisi substrat dan stek karang-karang yang akan dikembangbiakkan. Setiap rak yang akan menjadi rumah koral ini berukuran 1,5 x 0,75 x 0,5 meter. Adapun jenis-jenis terumbu karang yang ditransplantasi adalah Acropora (karang cabang) dan Favites (karang otak).

Meity Irlani (20), koordinator acara transplantasi koral, mengatakan, Pantai Ringgung merupakan salah satu habitat yang ideal bagi terumbu karang. Namun, karena pola budidaya keramba jaring apung yang kurang hati-hati, sebagian karang rusak terkena jangkar.

Selain itu, layaknya kawasan Teluk Lampung lainnya, habitat terumbu karang di Ringgung juga terancam oleh aksi pengeboman ikan dan penggunaan racun potas oleh nelayan kecil di Lampung.

"Untuk menumbuhkan karang butuh bertahun-tahun, tetapi menghancurkannya cukup 5 menit," ujar Samsul Hadi (15), siswa dari SMKN 6 Bandar Lampung, mengungkapkan kerisauannya akan rusaknya terumbu karang.

Menurut Meity, untuk acara PKSDA, kegiatan transplantasi koral ini merupakan yang pertama kali dilakukan. Tujuan kegiatan ini adalah untuk menumbuhkembangkan kesadaran pentingnya ekosistem terumbu karang. "Biasanya, kami melakukan kegiatan di darat dan pesisir. Padahal, laut juga tidak kalah penting," ungkapnya.

Sumber : Kompas Indonesia

READ MORE - TRANSPLANTASI KARANG DI TELUK LAMPUNG

SEGITIGA TERUMBU KARANG

Kamis, April 14, 2011



Segitiga Terumbu Karang adalah istilah geografis untuk perairan di Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon dan Timor Leste yang kaya akan terumbu karang. Segitiga Terumbu Karang dijadikan oleh World Wildlife Fund sebagai salah satu dari prioritas utama konservasi kehidupan maritim yang diluncurkan pada tahun 2007.[1]

Segitiga Terumbu Karang meliputi wilayah lebih dari 6.500.000 km², dengan lebih dari 600 spesies terumbu karang dan meliputi 75% semua spesies terumbu karang yang ada di dunia.

Lebih dari 3.000 spesies ikan tinggal di Segitiga Terumbu Karang, termasuk ikan terbesar hiu paus, dan fosil hidup coelacanth.

Sumber : Wikipedia Indonesia

READ MORE - SEGITIGA TERUMBU KARANG

BERSIH PANTAI UNTUK BUMI, LEBIH DARI 600 KG SAMPAH DIKUMPULKAN

Rabu, April 13, 2011


Pada tanggal 1 April 2011 kemarin, dilakukan kegiatan bersih pantai dan terumbu karang di pantai Jemeluk, Amed. Kegiatan ini diikuti oleh 12 penyelam yang merupakan perwakilan dari beberapa dive center dan puluhan masyarakat lokal di sekitar pantai Jemeluk. Dari kegiatan clean up selama dua jam-an ini didapatkan sampah seberat 600 kilogram lebih, yang terdiri dari sampah-sampah plastik, pakaian, botol kaca, jaring ikan, dan bahan non organik lainnya. Menurut keterangan dari beberapa warga setempat, banyaknya sampah diakibatkan oleh luapan sungai yang bermuara ke pantai Jemeluk, membawa sedimen dan sampah.

“Dalam musim-musim seperti ini, saya yakin bahwa apabila besok kita melakukan kegiatan yang sama, jumlah sampah yang dikumpulkan juga akan sama,” demikian ungkap Birger Finaut, manager dari Puri Wirata dive resort and spa di Amed. Seperti juga para pelaku pariwisata di Amed, mereka mengkhawatirkan dampak negatif sampah ini terhadap pariwisata.

“Banyak tempat-tempat pariwisata yang indah di Bali, seperti di sini, masih mempunyai masalah dengan sampah,” ujar Naneng Setiasih, program manager segitiga karang Coral Reef Alliance (CORAL). “Dan ini bukan hanya tugas pemerintah semata untuk menanganinya, namun juga tugas kita semua.”

CORAL bersama-sama dengan Yayasan Reef Check Indonesia telah menginisiasi pembangunan program percontohan pengelolaan sampah sederhana di sekolah-sekolah di sekitar kawasan Amed. Program ini dibangun sebagai program bersama yang melibatkan pelaku bisnis, dan yayasan pendidikan di Amed (Yayasan Peduli Alam dan Yayasan Nata Nurani), sebagai bagian dari rencana untuk menciptakan kawasan wisata terumbu karang yang berkelanjutan.

I Ketut Anis ketua Bidang Konservasi Badan Lingkungan Hidup Karangasem kemudian menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat setempat dalam menangani masalah sampah ini. Setelah mengumpulkan satu karung sampah dari pinggir laut, beliau menegaskan komitmen pemerintah dalam membantu memfasilitasi pihak-pihak terkait untuk mengurangi volume sampah ke daerah-daerah strategis seperti Amed.

Kegiatan ini dilaksanakan sebagai bagian dari kegiatan bulan bumi, untuk memperingati hari bumi pada tanggal 22 April. CORAL (Coral Reef Alliance) dan Yayasan Reef Check Indonesia bekerjasama dengan masyarakat lokal di berbagai tempat akan mengadakan serangkaian kegiatan. Clean up ini akan diikuti oleh kegiatan pelatihan-pelatihan di Sabang dan Bintan. Puncak peringatannya sendiri akan dilakukan di Tejakula, Singaraja, pada tanggal 22 April 2011.

Sumber : Go Blue Indonesia

READ MORE - BERSIH PANTAI UNTUK BUMI, LEBIH DARI 600 KG SAMPAH DIKUMPULKAN

PENYAKIT MISTERIUS SERANG TERUMBU KARANG



Karang Karimujawa

Pakar ilmu kelautan Universitas Diponegoro Semarang Prof Agus Sabdono mengatakan bahwa kerusakan terumbu karang di perairan Karimunjawa disebabkan suatu penyakit misterius.

"Terumbu karang yang terserang penyakit itu akan berubah warna menjadi merah muda dan dalam waktu antara 2-3 bulan akan mati. Ini yang tengah kami teliti saat ini," katanya di Semarang, Senin.

Agus yang akan dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Undip itu menjelaskan terumbu karang yang terkena gejala menyerupai itu sebenarnya pernah ditemukan di perairan India.

Ia mengatakan gejalanya hampir sama, yakni terumbu karang berubah warna menjadi merah muda, namun di India polanya hanya garis-garis di terumbu karang, sementara di perairan Karimunjawa menyeluruh.

"Luasan terumbu karang yang terkena penyakit itu sudah cukup besar. Saya tidak ingat persis angkanya, namun terumbu karang berpenyakit itu banyak ditemukan di sebelah Utara Pulau Sambangan, Pulau Karimunjawa," katanya.

Selain penyakit itu, kata dia, pihaknya juga menemukan berbagai penyakit lain yang menyerang terumbu karang, seperti `white plaque tipe I`, `tipe II`, `tipe III`, dan `black bone disease`," katanya.

Menurut dia, penyakit yang menjangkiti itu juga bisa membuat terumbu karang berubah warna, seperti "white plaque" membuat warna berubah putih atau "black bone disease" membuat terumbu karang menghitam.

"Kalau penyakit-penyakit ini biasa ditemukan di terumbu karang, namun untuk yang membuat warna terumbu karang berubah merah muda itu belum pernah ditemukan. Namun, penyebabnya karena bakteri," katanya.

Ia menjelaskan bahwa penyebab berbagai penyakit yang menyerang terumbu karang itu karena bakteri, diperparah dengan tekanan alam, termasuk pencemaran yang semakin memperlemah sistem pertahanan diri terumbu karang.

"Serangan bakteri ini terjadi mulai level molekuler, sel, hingga ke jaringan terumbu karang sehingga dalam waktu cepat akan membuat terumbu karang mati," katanya.

Penyakit yang menyerang terumbu karang itu, kata dia, tentunya merugikan, karena terumbu karang memiliki berbagai fungsi, seperti obat-obatan, bahan budi daya, dan pencegah terjadinya abrasi pantai.

"Untuk hewan-hewan laut lainnya, terumbu karang juga menjadi sumber makanan dan tempat hidup, seperti udang-udangan, kerang-kerangan, oktopus, dan rumput laut," katanya.

Karena itu, Agus mengatakan pihaknya tengah meneliti langkah untuk membasmi penyakit tersebut dan mengembalikan kondisi dan fungsi terumbu karang secara baik seperti sedia kala.

READ MORE - PENYAKIT MISTERIUS SERANG TERUMBU KARANG

RICHARD BRANSON WUJUDKAN "JET DASAR LAUT"

Jumat, April 08, 2011


Sir Richard Branson Ddan eksplorer Chris Welsh (kiri) saat konferensdi pers di Newport Beach, California, Selasa (5/4/2011) memperkenalkan jet dasar laut berpenumpang tunggal untuk menjelajahi palung dalam.

Siapa saja yang mengenal Sir Richard Branson tidak akan kaget dengan kabar teranyar ini. Setelah merintis wisata murah ke luar angkasa lewat Virgin Galactic, salah satu pengusaha terkaya dari Inggris itu kini bermimpi bisa menyediakan jet dasar laut untuk membawa pengalaman baru ke tempat yang sulit dijamah.

Branson menamakan proyek barunya sebagai Virgin Oceanic. Nama itu selaras dengan maskapai penerbangannya yang bernama Virgin Atlantic dan proyek wisata luar angkasa Virgin Galactic. Ia memperkenalkan kendaraan yang disebut jet dasar laut yang akan digunakan Virgin Oceanic.

"Kapal sepanjang 18 kaki (5,5 meter) ini bisa menyelam hingga kedalaman 11 kilometer di bawah permukaan laut," kata Branson memperkenalkan jet dasar laut yang dikembangkan Virgin Oceanic pada konferensi pers di Newport Beach, California, Selasa (5/4/2011) waktu setempat.

Kendaraan tersebut berpenumpang tunggal. Branson mengatakan, jet dasar laut Virgin Oceanic sanggup membawa pengendaranya selama seharian di dasar laut dalam. Ia memperkirakan, biaya untuk sekali perjalanan ke palung dasar laut sekitar 10 juta dollar AS (sekitar Rp 86 miliar).

Virgin Oceanic akan melakukan lima kali penyelaman dalam dua tahun ke depan. Sasaran pertama adalah mendekati Palung Mariana di Samudra Pasifik pada kedalaman 36.000 kaki atau sekitar 11 kilometer dari permukaan laut. Branson berencana melakukannya sendiri pada kesempatan kedua ke Palung Puerto Rico di Samudra Atlantik. Daerah lain yang akan dikunjungi adalah Molloy Deep di Laut Arktik, Kutub Utara, Palung South Sandwich, dan Diamantina di Laut Hindia.

"Di sana banyak sekali yang bisa diekplorasi. Begitu banyak yang bisa ditemui," kata Branson. Ia berharap terobosan yang dilakukannya bisa turut menyumbang ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan manusia di masa depan.


READ MORE - RICHARD BRANSON WUJUDKAN "JET DASAR LAUT"

WARGA SELAYAR DIMINTA PERANGI PERUSAK TERUMBU KARANG

Kamis, April 07, 2011


Bupati Kepulauan Selayar Syahrir Wahab membuka secara resmi Rapat Koordinasi Pengamanan Taman Nasional Taka Bonerate.

Bupati meminta menjaga Taman Nasional Taka Bonerate, karena itu mengajak terus menjaga kelestarian terumbu karang di Taman Nasional Taka Bonerate.

Dikatakannya Potensi besar Kepulauan Selayar ada di bidang kelautan dan perikanan dengan banyaknya spesies terumbu karang.

Terumbu karang mesti tetap terjaga kelestariannya. Kita harus sepakat menjadikan perusak terumbu karang sebagai musuh bersama.

Olehnya itu kita perlu mensosialisasikan agar masyarakat dapat mengetahui dampak dari illegal fishing. Kemudian menyediakan mata pencaharian alternative dengan budi daya rumput laut dan keramba tancap.

Bupati Kepulauan Selayar Syahrir Wahab mengemukakan kalau pengamanan di laut belum berhasil dengan baik maka langkah yang harus ditempuh adalah pengamanan di darat dengan cara mengidentifikasi pelaku yang sering melakukan illegal fisihing. Kalau ini dijalankan, Bupati yakin ilegal fisihing dapat ditekan seminimal mungkin.

READ MORE - WARGA SELAYAR DIMINTA PERANGI PERUSAK TERUMBU KARANG

LABORATORIUM BAWAH LAUT, WAKATOBI - PULAU HOGA


Laboratorium Bawah Laut Kabupaten Wakatobi di Pulau Hoga, Sulawesi Tenggara (Sultra) akan menjadi pusat penelitian berbagai jenis terumbu karang dan bio energi dunia.

"Penggunaan Laboratorium Bawah Laut Wakatobi sebagai pusat penelitian terumbu karang dan bio energi dunia, akan dimulai bersamaan dengan dibukanya Sekolah Perikanan Internasional yang dibangun Kementerian Kelautan dan Perikanan," kata Bupati Wakatobi, Hugua kepada ANTARA melalui telepon dari Wakatobi, Selasa.

Menurut Bupati Hugua, Sekolah Perikanan Internasional Wakatobi, akan dibuka pada bulan Agustus 2011 mendatang.

Bersamaan dengan peresmian beroperasinya sekolah tersebut kata Hugua, akan digelar penelitian organisma bawah laut Wakatobi yang direncanakan diikuti sebanyak 1.000-an peneliti dari berbagai negara.

Terutama dari universitas yang akan menjalin kerjasama dengan Pemkab Wakatobi untuk mengembangkan sekolah perikanan tersebut.

"Setiap satu peneliti dari luar negeri, akan ditemani peneliti nasional dari LIPI dan berbagai perguruan tinggi di Tanah Air," katanya.

Laboratorium Bawah Laut Wakatobi yang menjadi sarana pendukung utama Sekolah Perikanan Internasional menurut Hugua, akan menjadi pusat penelitian terumbu karang dan bio energi paling aktif di pusat segi tiga terumbu Karang dunia.

Menurut Bupati Hugua, mahasiswa SPI Wakatobi, akan berasal dari enam negara yang menjadi anggota CTI (Coral Triangle Initiative).

Enam Negara tersebut masing-masing Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Kepulauan Salamon, Timor Leste dan Indonesia sendiri.

Bupati Hugua mengatakan, untuk pengembangan dan peningkatan kualitas sekolah tersebut, Pemerintah Kabupaten Wakatobi bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan, akan menjalin kerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi di luar negeri.

"Kami sudah dihubungi pihak Universitas Essex, Cambridge, Oxford di Inggeris, Trinity College Dublin University Irlandia dan Harvard Amerika Serikat, untuk bekerjasama mengembangkan Sekolah Perikanan Internasional di Wakatobi," katanya.

READ MORE - LABORATORIUM BAWAH LAUT, WAKATOBI - PULAU HOGA

PENAMBANGAN TIMAH, ANCAM POPULASI TERUMBU KARANG


"Air laut menjadi keruh dan menyulitkan terumbu karang bernapas."

Seorang pengamat lingkungan hidup dari Universitas Bangka Belitung (UBB), Rizza Muftiadi, penambangan bijih timah di Kota Pangkalpinang mengakibatkan tingginya endapan lumpur di perairan yang mengancam populasi terumbu karang.

"Penambangan bijih timah memprodusir lumpur sehingga air laut menjadi keruh dan menyulitkan terumbu karang bernapas, karena tidak bisa ditembus sinar matahari yang pada gilirannya biota laut itu tidak tumbuh dan bisa punah," katanya di Pangkalpinang, Minggu.

Kepunahan terumbu karang dapat menimbulkan banyak efek, diantaranya berkurangnya populasi ikan dan abrasi pantai, ujarnya.

Selain penambangan biji timah, kata dia, ada banyak alat tangkap ikan tertentu, seperti pukat harimau dan racun ikan beroperasi di perairan, sehingga dapat merusak terumbu karang, kendati belakangan aktivitas alat tangkap seperti itu mulai berkurang.

"Ini juga menjadi ancaman populasi terumbu karang, sehingga banyak ditemukan terumbu karang mati di perairan laut Pangkalpinang," ujarnya.

Menurut dia, sangat sulit menghentikan kegiatan ekonomi di perairan tersebut, karena Pangkalpinang sudah sejak lama menjadi alur pelayaran dan aktifitas lainnya.

Ia menghemukakan, untuk menjaga populasi terumbu karang sebagai tempat bersarang ikan dan pemecah gelombang agar tidak terjadi abrasi pantai, harus dilakukan penanaman dan pelestarian pohon bakau.

"Populasi pohon bakau dan lamun atau lalang laut berfungsi menjaga habitat karang dengan menyerap lumpur, sehingga terumbu karang bisa hidup dengan baik," ujarnya.

Menurut dia, jika pohon bakau dan lamun banyak tumbuh di daerah pantai, tentu terumbu tumbuh dengan baik karena sedimentasi lumpur diserap kayu bakau, sehingga lumpur tidak mengendap di terumbu karang.

Ia menyatakan, antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan memang saling berseberangan dan dilematis, pada satu sisi harus memenuhi kebutuhan hidup, namun di sisi lain menyebabkan kerusakan lingkungan.

Namun, kata dia, tetap harus ada upaya melestarikannya yaitu melalui kegiatan penghijauan dengan menanam pohon bakau atau melakukan transplantasi terumbu karang.

"Memang upaya ini sudah dilakukan berbagai pihak seperti menanam bibit bakau di Pantau Tanjung Bunga, namun harus tetap dijaga agar bisa tumbuh dan hidup dengan baik sehingga benar-benar mampu menghindari abrasi dan menjaga populasi terumbu karang," ujarnya.

READ MORE - PENAMBANGAN TIMAH, ANCAM POPULASI TERUMBU KARANG

TERUMBU KARANG MENTAWAI KIAN TERANCAM


Saya tidak ikut mengambil terumbu karang ke laut, hanya mengambil sisa dari tumpukan kalau tak dibawa pemiliknya !!

Terumbu karang di perairan Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, kian terancam karena masih digunakan masyarakat setempat untuk alternatif material bahan bangunan rumah.

"Kita akan koordinasikan dengan instansi terkait dan segera menyurati Bupati Mentawai, jika masih berlangsung aktivitas pengambilan terumbu karang di perairan itu," kata Kepala Dinas Keluatan dan Perikanan (DKP) Sumbar Ir Yosmeri ketika dikonfirmasi di Padang, Senin.

Yosmeri mengatakan, di Mentawai sebenarnya sudah ada Peraturan Daerah yang melarang masyarakat mengambil terumbu karang untuk dijadikan material bahan bangunan.

Warga Desa Taikako, Kecamatan Pagai Utara, Kepulauan Mentawai, Man Yosep (40-an) saat ditemui di Dermaga Taikako, pekan lalu mengatakan, terumbu karang yang ditumpuk di Dermaga itu untuk material alternatif material bangunan.

Batu air untuk material pondasi bahan bangunan sulit didapatkan di Kepulauan Mentawai, karena itu banyak terumbu karang yang dijadikan alternatif.Jasa bagi para pencari adalah Rp100 per meter kubik hingga ke tepi pantai.

"Saya tidak ikut mengambil terumbu karang ke laut, hanya mengambil sisa dari tumpukan kalau tak dibawa pemiliknya," katanya sambil menaikkan karung yang berisi serpihan terumbuk karang ke sepeda motornya.

READ MORE - TERUMBU KARANG MENTAWAI KIAN TERANCAM

MANGROVE HAMBAT PERUBAHAN IKLIM


Hutan mangrove

Hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa mangrove memberi sumbangan sangat potensial untuk mengurangi emisi karbon dibanding hutan hujan tropis. Masalahnya, mangrove terus mengalami kerusakan dengan cepat di sepanjang garis pantai, sejalan dengan persoalan emisi gas rumah kaca.

Para ahli dari Center for International Forestry Research (Cifor) dan USDA Forest Service menekankan perlunya hutan mangrove dilindungi sebagai bagian dari upaya global dalam melawan perubahan iklim.

"Kerusakan mangrove saat ini sudah pada tingkat yang menghawatirkan. Ini harus dihentikan. Penelitan kami menunjukkan bahwa hutan mangrove mempunyai peranan kunci dalam strategi mitigasi perubahan iklim," kata Daniel Murdiyarso, peneliti senior dari Cifor, Selasa (5/4/2011) malam.

Daniel mengemukakan, pada 15 -20 tahun lalu, luas hutan mangrove Indonesia masih sekitar 8 juta hektar. Saat ini diperkirakan tinggal 2,5 juta hektar.

Cifor mengungkapkan, sebuah studi yang dipublikasikan pada 3 April 2011 dalam Nature GeoScience, para ahli mengukur cadangan karbon dalam hutan mangrove berdasarkan atau luas areal wilayah Indo-Pasifik. Tidak ada studi selama ini yang mengintegrasikan pentingnya mengukur total cadangan karbon mangrove berdasarkan geografi atau luas wilayah hutan mangrove.

Dari hasil-hasil tersebut, para ahli mengestimasi bahwa tingkat pembusukan dan penguraian di hutan mangrove lebih cepat daripada hutan di daratan. Sebagian besar karbon disimpan di bawah hutan mangrove, yang dapat dilihat, yakni antara tanah dan air.

Mangrove hidup sepanjang pantai dari sebagian besar laut-laut utama di 188 negara. Sebanyak 30 sampai 50 persen berkurangnya mangrove sepanjang setengah abad lalu telah menimbulkan ketakutan. Sebab, bisa jadi mangrove akan punah seluruhnya dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun.

Kelanjungan mangrove juga terancam oleh tekanan pertumbuhan kota dan pembangunan industri, sebagaimana ancaman dari pertumbuhan tambak atau fish farm yang tidak terkendali.

"Saat ini belum ada kesadaran akan bahaya kehilangan mangrove bagi kelangsungan kehidupan umat manusia. Sehingga, setiap pemerintah harus ditekan agar menyadari pentingnya dan membuat kebijakan yang dapat melindungi hutan mangrove," kata Daniel.

Sumber : Kompas Indonesia

READ MORE - MANGROVE HAMBAT PERUBAHAN IKLIM

GANGGANG UNTUK BERSIHKAN AIR DARI LIMBAH NUKLIR

Senin, April 04, 2011

Ganggang bisa jadi solusi untuk bersihkan limbah nuklir setelah bencana, seperti bencana di Fukushima, Jepang

Pada saat pertemuan American Chemical Society di Anaheim, California, Amerika Serikat, ilmuwan dari Northwestern University di Evanston, Illinois, mengutarakan kalau ganggang Closterium moniliferum punya kemampuan menghilangkan isotop radioaktif strontium dari air. Ganggang tersebut menyimpan strontium dalam bentuk kristal yang terbentuk dalam struktur subseluler.

Masalahnya, hasil limbah reaktor atau pencemaran akibat kecelakaan juga mengandung bahan lain, seperti kalsium dan kalsium yang dihasilkan jumlahnya bisa mencapai 7 miliar kali lipat dibandingkan strontium. Ukuran strontium dan kalsium yang serupa membuat keduanya makin sulit dipisahkan.

Ganggang C. moniliferum sebetulnya tidak tertarik pada strontium. Ganggang yang mudah ditemukan ini tertarik pada barium. Tapi, ciri strontium yang berada antara kalsium dan barium membuat strontium membuat C. moniliferum juga mengakibatkan strontium mengkristal.

Strontium merupakan salah satu isotop berbahaya karena bisa masuk ke dalam tulang, sumsum, darah, dan jaringan lain. Radiasi yang dipancarkannya bisa menyebabkan kanker. Radioisotop itu baru akan berkurang setelah 30 tahun. "Itulah yang membuat strontium merupakan salah satu ancaman utama," kata Minna Krejci yang melakukan penelitian.

Krejci belum melakukan pengujian daya tahan ganggang saat ada aktivitas radioaktif. Tapi Krejci optimis ganggang dapat bertahan cukup lama untuk menghilangkan strontium karena proses pembersihan berlangsung cepat. "Pengkristalan berlangsung dalam waktu 30 menit sampai 1 jam," katanya.





READ MORE - GANGGANG UNTUK BERSIHKAN AIR DARI LIMBAH NUKLIR

PULAU DAUR ULANG DARI SAMPAH PLASTIK





Pulau sampah di lautan akan disulap menjadi pulau daur ulang

Ide untuk memanfaatkan sampah plastik di lautan dan mengubahnya menjadi sebuah pulau mandiri dicetuskan Ramon Knoester, seorang arsitek Belanda. Knoester bersama firma arsitekturnya Whim Architecture, berencana untuk membangun pulau berukuran 10 ribu kilometer persegi yang dapat dihuni manusia dan bahkan dapat digunakan untuk bercocok tanam.

Knoester dan timnya memang belum dapat memastikan berapa banyak sampah plastik yang mereka butuhkan sebelum akhirnya dilebur menjadi dasar pulau yang mengapung. Menurut Koestner, perlu waktu bertahun-tahun untuk mengumpulkan seluruh sampah plastik di samudera Pasifik karena tak ada yang tahu pasti berapa banyak puing-puing plastik yang mengapung di sana.

Ide Koestner ini kemudian dikaitkan dengan pulau sampah Pasifik (Great Pacific Garbage Patch), sebuah jalinan sampah plastik dengan ukuran yang diperkirakan mencapai dua kali luas negara bagian Texas, Amerika Serikat (luas Texas adalah 696.241 kilometer persegi). Sumber sampah yang membentuk pulau yang berlokasi di Samudera Pasifik Utara ini 80 persen berasal dari daratan dan 20 persen dari kapal yang berlayar dan sebagian besarnya berupa plastik.

Oleh karena itu, ide pulau daur ulang ini disebut-sebut sebagai salah satu solusi kreatif untuk membersihkan dan memanfaatkan sampah plastik yang ada di laut. Salah satu sumber menyebutkan tiga tujuan pengembangan proyek ini yaitu, membersihkan lautan dari sampah plastik, membangun sebuah pulau, dan membentuk sebuah habitat mandiri yang terbarukan.

Knoester bersama timnya merancang pulau daur ulang ini layaknya Venesia, di Italia. Kanal-kanal akan digunakan sebagai penunjang mobilitas penduduknya. Rumput laut dan toilet kompos nantinya akan dimanfaatkan untuk menyuburkan tanah yang ada di pulau tersebut sehingga dapat digunakan untuk bercocok tanam. Sedangkan sumber energinya mengandalkan sinar matahari dan gelombang laut untuk menghasilkan listrik. Dengan demikian, pulau daur ulang ini bisa mandiri dan tidak memiliki dampak negatif terhadap lingkungan.

READ MORE - PULAU DAUR ULANG DARI SAMPAH PLASTIK

 
 
 

TENTANG FORKOM

FORKOM KOMUNIKASI MASYARAKAT PENCINTA TERUMBU KARANG merupakan wadah komunikasi diantara masyarakat dalam upaya meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya pelestarian ekosistem terumbu karang, COREMAP dengan komponen penyadaran masyarakat telah berupaya mengkampanyekan berbagai program kepada masyarakat luas. Selengkapnya

TRANSLATE POST

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Forkom Komunitas